“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur`an ataukah hati mereka terkunci?”
(Qs 47 Muhammad: 24)
Muqaddimah
Meski Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam sudah dipersiapkan oleh Allah Ta’ala selama 40 tahun untuk menjadi komunikator-Nya, rupanya hal itu terbukti belum cukup. Segudang pengalaman hidup meliputi pengalaman spiritual, psikologi, diplomasi, pekerja sosial, militer, parenting, pemimpin, dan figur di masyarakat, belum memadai sebagai modal untuk dijadikan problem solving dalam menerapi patologi sosial yang menjangkiti bangsanya.
Oleh Allah, Nabi SAW tetap dianggap dhallun (bingung) hingga Allah berkenan menurunkan wahyu-Nya. Firman Allah, “Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk.”
(Qs 93 adh-Dhuha: 7).
Karena bingung, Nabi senang berkhalwat (menyendiri) mengadakan perenungan di Gua Hira. Hingga akhirnya Allah berkenan menurunkan kepadanya wahyu al-Qur`an. Wahyu berisi perintah dan larangan yang terasa berat dipikul secara fisik dan jiwa. Ternyata, keunggulan isinya memerlukan kehebatan pelakunya. Sebuah konsep membutuhkan pelaku.
Al-Alaq, Pondasi Segala Ilmu
Al-Qur`an adalah petunjuk kehidupan yang diturunkan Allah untuk Muhammad dan seluruh umat manusia. Sebagai manhaj al-hayah (pedoman hidup) dalam memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat, Allah tidak membatasi wahyu yang terakhir sebagai petunjuk peribadatan semata. Ia juga tidak sebatas hanya mengandung ayat-ayat hukum, sejarah, etika, atau dimensi keilmuan yang lain. Sebab, jika al-Qur`an hanya kita pandang sebagai ilmu dan kekayaan intelektual, maka apa bedanya dengan ilmu yang lain?
Al-Qur’an memuat rumusan jitu untuk sukses dalam menjalin komunikasi dengan Allah, sesama manusia dan makhluk lain serta terhadap alam semesta.
Ketika (Qs 96 al-Alaq: 1-5) sebagai wahyu pertama turun, Allah meletakkan landasan berpikir dan bertindak yang amat penting bagi manusia, yaitu ilmu pengetahuan. Membaca adalah langkah awal menuju ditemukannya berbagai ilmu pengetahuan. Itulah perintah pertama yang diturunkan Allah melalui wahyu-Nya.
Ayat pertama tadi sekaligus mengandung petunjuk bagaimana seharusnya manusia itu membaca. Yakni bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dalam membaca obyek bacaan apa saja, hendaknya berpijak pada tuntunan dan arahan Allah, bukan berdasarkan pikiran manusia belaka.
Al-Qur’an sebagai wahyu dari Sang Khaliq memiliki cara sendiri, bagaimana seharusnya ia dipahami. Dengan cara demikian akan melahirkan ilmuan yang didahului oleh kesadaran ilahiyah dalam dirinya.
Syaikh Muhammad Abduh mengatakan, berbeda dengan kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, al-Qur`an bagaikan gadis (belum disentuh oleh tangan-tangan jahil manusia). Jika dibaca secara terus-menerus akan melahirkan makna-makna baru dari sebelumnya.
Sebagai contoh, sebutlah al-Alaq, di sana al-Qur`an telah memberi isyarat obyek bacaan yang amat penting. Yaitu penciptaan manusia dari segumpal darah (min alaq). Bagaimana kejelasan eksistensi manusia lebih lanjut, manusia dipersilakan oleh Tuhan untuk membacanya (mengadakan penelitian) lebih jauh sehingga menemukan ilmu pengetahuan tentang embriologi. Manusia diarahkan untuk melihat ke atas (langit), ke tengah (diri sendiri) dan ke bawah (bumi dan seisinya serta tempat kembali manusia). Tentunya, hal ini makin menguatkan jika al-Qur`an benar-benar petunjuk kehidupan manusia yang perlu terus digali kandungan maknanya, baik secara tekstual dan kontekstual.
Jika hal ini terus digali dan dielaborasi kandungan maknanya dan tidak dibatasi atau berhenti pada masalah-masalah ushul (akidah, ibadah dan akhlak), niscaya al-Qur`an potensial membuat umat Islam menjadi cerdas dalam memahami dan menyikapi berbagai persoalan dalam kehidupan ini. Imam an-Nawawi mengatakan: al-Qur`an hammalatul makna (al-Qur`an mengandung kedalaman makna yang terus berkembang mengikuti dinamika zaman).
Kecerdasan Qur`ani
Jika kemampuan tersebut dimiliki, itulah yang dinamakan sebagai kecerdasan qur’ani atau qur’anic quotient. Kecerdasan qur`ani identik dengan kecerdasan tingkat tinggi -supra rasional-, kemampuan untuk memahami dan menyikapi sesuatu hal dengan cara pandang al-Qur`an. Sebaliknya jika pendengaran, penglihatan, hati dan instrumen lain yang dikaruniakan oleh Allah mengalami disfungsi, maka ia dijamin disconnect terhadap kalimatullah (ayat-ayat qur’aniyah) dan khalqullah (ayat-ayat kauniyah).
Jika umat Islam memiliki kecerdasan qur’ani dan memberdayakannya, niscaya ia menemukan dirinya enjoy dalam menjalani kehidupan ini. Tak ada keluh kesah yang terucap, sebab dalam jiwa mereka telah tumbuh benih-benih kebahagiaan dalam berqur’an. Bagi seorang Muslim, kecerdasan qur’ani menjadi instrumen efektif dan efisien dalam menghadapi fluktuasi dan dinamika zaman dan persoalan yang menyertainya. Ironisnya, kenyataan menunjukkan dewasa ini umat Islam sendiri masih sangat awam dan mayoritas jauh dari al-Qur`an.
Inilah ketimpangan realitas pada umat Islam sekarang, mereka jauh dari al-Qur`an. Umat Islam sudah waktunya digalakkan terus untuk memperbaiki dalam berinteraksi dengan al-Qur`an, dibimbing untuk dekat dengannya, membaca dan memahami kandungannya. Dengan cara itulah al-Qur`an berhasil merekonstruksi pola pikir, hati dan perilaku umat Islam yang pertama (as-Sabiqun al-Awwalun). Itulah dasar bagi dibangunnya kecerdasan qur`ani itu.
Bertolak dari pemikiran di atas, betapa pentingnya dibangun dan ditumbuh kembangkan kecerdasan qur`ani itu. Kecerdasan qur`ani harus dimulai sejak dini (ketika panca indranya belum terkontaminasi oleh residu lingkungan sosialnya), terus berkelanjutan dan terprogram. Mungkinkah kita memperoleh kecerdasan qur`ani tanpa mentadabburi kandungannya, sebagaimana yang diisyaratkan firman Allah Ta’ala di awal tulisan ini?
Potensi penglihatan, pendengaran, dan hati, yang tidak diberdayakan untuk berinteraksi dengan ayat-ayat tanziliyah dan ayat-ayat kauniyah yang digelar di setiap ufuk, akan mengalami disfungsi. Allah berfirman:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”
(Qs 7 Al-A’raf : 179)
Kecerdasan qur`ani mengungguli bahkan mengatasi kecerdasan yang pada umumnya dimiliki manusia, yaitu kecerdasan intelektual, emosional dan spiritual. Jika kecerdasan spektakuler ini dimiliki oleh seseorang, maka akan mencerdaskan pikirannya, menghaluskan hati dan perasaannya dan menggerakkan fisiknya untuk berjihad di jalan-Nya. *Sholeh Hasyim, pengasuh Pesantren Hidayatullah Kudus, Jawa Tengah. SUARA HIDAYATULLAH JUNI 2012.